PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Perlindungan Konsumen
di Indonesia
Seiring meningkatnya era globalisasi
ekonomi pada saat sekarang ini, konsumen sebagai pengguna barang atau jasa
sering menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Tidak jarang pelaku usaha melakukan promosi, penjualan atau penerapan
perjanjian standar yang merugikan konsumen. Rendahnya tingkat kesadaran dan
pendidikan hukum menambah lemahnya posisi konsumen. Untuk itu pemerintah
mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen. Pemberlakuan undang-undang ini diharapkan dapat menjadi
landasan bagi konsumen dan lembaga perlindungan konsumen untuk memberdayakan
dan melindungi kepentingan konsumen, serta membuat pelaku usaha lebih
bertanggung jawab.
Perlindungan konsumen itu sendiri
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Konsumen dilindungi dari setiap tindakan
produsen barang atau jasa, importer, distributor penjual dan setiap pihak yang
berada dalam jalur perdagangan barang atau jasa ini, yang pada umumnya disebut
dengan nama pelaku usaha.
Ada dua jenis perlindungan yang
diberikan kepada konsumen, yaitu :
1. Perlindungan Priventif
Perlindungan yang diberikan kepada
konsumen pada saat konsumen tersebut akan membeli atau menggunakan atau
memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu, mulai melakukan proses
pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan
selanjutnya memutuskan untuk membeli atau menggunakan atau memanfaatkan barang
dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu tersebut.
2. Perlindungan Kuratif
Perlindungan yang diberikan kepada
konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau pemanfaatan barang atau jasa tertentu
oleh konsumen. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa konsumen belum tentu dan
tidak perlu, serta tidak boleh dipersamakan dengan pembeli barang dan atau
jasa, meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang membeli suatu barang
atau jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen, cukup jika orang
tersebut adalah pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau
jasa, tidak peduli ia mendapatkannya melalui pembelian atau pemberian.
Tujuan perlindungan konsumen
diantaranya adalah :
- Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
- Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan jasa.
- Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
- Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
- Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
- Meningkatkan kualitas barang dan jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Asas-asas dalam perlindungan
konsumen yaitu :
- Asas Manfaat.
Untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
- Asas Keadilan.
Agar partisipasi seluruh masyarakat
dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
- Asas Keseimbangan.
Untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil atau pun
spiritual.
- Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen.
Untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan jasa yang digunakan.
- Asas Kepastian Hukum.
Agar baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sebelum terbentuknya undang-undang
tentang Perlindungan Konsumen ini, telah ada beberapa undang-undang yang
materinya lebih khusus dalam melindungi kepentingan konsumen dalam satu hal,
seperti undang-undang yang mengatur mengenai hak-hak atas kekayaan intelektual
yaitu tentang Paten, Merek dan Hak Cipta. Perlindungan konsumen dalam hal
pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual tidak diatur dalam
undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, karena hal itu sudah diatur dalam
undang-undang yang khusus antara lain undang-undang tentang Paten dan Merek.
Undang-undang Perlindungan Konsumen
merupakan aturan yang umum, oleh karenanya apabila telah ada aturan yang khusus
mengenai suatu hal misalnya undang-undang yang khusus mengatur tentang
perbankan yang mencakup aturan tentang perlindungan konsumen bidang perbankan
maka undang-undang perbankanlah yang digunakan.
Dikutip dari Undang-Undang Republik
Indonesia No. 8 Tahun 1999
HAK
ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
Hak kekayaan intelektual itu
adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja
otak (peranannya sebagai pusat pengaturan segala kegiatan fisik dan
psikologis), hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang
menalar, hasilkerjaanya itu berupa benda immateril (benda yang tidak berwujud).
Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang
optimal mememrankan kerja otaknya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu
menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika
(metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut
rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum
intelektual.
Hak kekayaan intelektual
diklasifikasikan termasuk dalam bidang hukum perdata yang merupakan bagian
hukum benda. Khusus mengenai hukum benda di sana terdapat pengaturan tentang
hak kebendaan. Hak kebendaan itu sendiri terdiri atas hak benda materil dan
immateril. HAKi disebut juga Hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada
seseorang atau sekelompok orang untuk memegang monopoli dalam menggunakan dan
mendapatkan manfaat dari kekayaan intelektual.
Perlindungan dan penegakkan
hukum HAKi burtujuan untuk mendorong timbulnya inovasi, pengalihan dan
penyebaran teknologi dan diperolehnya manfaat bersama antara penghasil dan
pengguna pengetahuan teknologi, menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi
serta keseimbangan antara hak dan kewajiban. Berikut adalah penjelasan
mendetail mengenai macam-macam HAKi:
Hak Cipta (copyright)
Menurut Direktorat Jendral
HAKi yang tertuang dalam buku panduan Hak Kekayaan Intelektual (2006 : 09)
adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan.
– pembatasan menurut peraturan perundang
– undangan yang berlaku.
Dimaksudkan dengan pengumuman,
di sini tercakup juga hak untuk menjual, memamerkan, mengedarkan dan lain
sebagainya dengan menggunakan alat apapun termasuk melalui media internet
sehingga ciptaan itu bisa dinikmati oleh orang lain. Sedangkan yang dimaksudkan
dengan pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang
atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran,
imajinasi, kecekatan, ketrampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk
yang khas dan bersifat pribadi. Dimaksudkan dengan ciptaan adalah hasil setiap
karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan,
seni, atau sastra. Perlindungan suatu ciptaan timbul secara otomatis sejak
ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk yang nyata. Pendaftaran suatu ciptaan tidak
merupakan suatu kewajiban. Namun demikian pencipta maupun pemegang hak cipta
yang mendaftarkan ciptaannya akan mendapatkan surat pendaftaran ciptaan yang
dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa
dikemudian hari terhadap ciptaan tersebut.
Paten (Patent)
Berbeda dengan hak cipta yang
melindungi sebuah karya, paten melindungi sebuah ide, bukan ekspresi dari ide
tersebut. Pada hak cipta, seseorang lain berhak membuat karya lain yang
fungsinya sama asalkan tidak dibuat berdasarkan karya orang lain yang memiliki
hak cipta. Sedangkan pada paten, seseorang tidak berhak untuk membuat sebuah
karya yang cara bekerjanya sama dengan sebuah ide yang dipatenkan.
Merk Dagang (Trademark)
Merk dagang digunakan oleh
pebisnis untuk mengidentifikasikan sebuah produk atau layanan. Merk dagang
meliputi nama produk atau layanan, beserta logo, simbol, gambar yang menyertai
produk atau layanan tersebut. Berbeda dengan HAKI lainnya, merk dagang dapat
digunakan oleh pihak lain selain pemilik merk dagang tersebut, selama merk
dagang tersebut digunakan untuk mereferensikan layanan atau produk yang
bersangkutan. Merk dagang diberlakukan setelah pertama kali penggunaan merk
dagang tersebut atau setelah registrasi. Merk dagang berlaku pada negara tempat
pertama kali merk dagang tersebut digunakan atau didaftarkan. Tetapi ada
beberapa perjanjian yang memfasilitasi penggunaan merk dagang di negara lain.
Sama seperti HAKI lainnya, merk dagang dapat diserahkan kepada pihak lain,
sebagian atau seluruhnya.
Rahasia Dagang (Trade Secret)
Berbeda dari jenis HAKi
lainnya, rahasia dagang tidak dipublikasikan ke publik. Sesuai namanya, rahasia
dagang bersifat rahasia. Rahasia dagang dilindungi selama informasi tersebut
tidak ‘dibocorkan’ oleh pemilik rahasia dagang.
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu :
Adalah kreasi berupa rancangan
tata letak tiga dimensi dari suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi
yang didalam terdapat berbagai elemen sekurang-kurangnya satu elemen adalah
elemen aktif yang saling berkaitan dibentuk terpadu dalam bahan semikonduktor .
Hak desain tata letak sirkuit terpadu adalah hak eksklusif yang diberikan oleh
negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama
waktu tertentu melaksanakan sendiri atau memberikan persetujuanya kepada pihak
lain untuk melaksanakan hak tersebut. Jangka waktu perlindungan hak ini diberikan
selama 10 tahun sejak pertama kali desain tersebut di eksplotasi secara komersial.hak ini dapat beralih/dialihkan
karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis dan sebab lain yang
dibenarkan oleh perundang-undangan. Sanksi yang diberikan untuk masalah desain
tata letak sirkuit terpadu berupa pidana dan denda.
Perlindungan Varietas Tanaman :
Adalah hak khusus yang
diberikan negara pada pemulia varietas tanaman dari sekelompok tanaman dari
suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan
tanaman, daun, buah biji,sekurang-kurangnya satu sifat menentukan dan apabila
diperbanyak tak mengalami perubahan.
Contoh Kasus Perlindungan Konsumen
1.
INDOMIE DI TAIWAN
Kasus Indomie yang
mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan
pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang
terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic
acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk
membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan
untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di
Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan
produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini
mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM
Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait
produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX
DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa
(12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini
bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan
adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A
Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang
terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan
benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak
cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama
nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini
dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua
BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia
dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar
Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie
instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih
dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi
bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg
per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan
lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa
mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut
Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision,
produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang
regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan
anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya
untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara
berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
Analisis
kasus berdasarkan Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Kasus
penarikan indomie di Taiwan dikarena pihak Taiwan menuding mie dari produsen
indomie mengandung bahan pengawet yang tidak aman bagi tubuh yaitu bahan Methyl
P-Hydroxybenzoate pada produk indomie jenis bumbu Indomie goreng dan saus
barberque.
Hal
ini disanggah oleh Direktur Indofood Sukses Makmur, Franciscus Welirang
berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie
menegaskan, produk mie instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan
dari Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan
Indomie tidak berbahaya.
Permasalahan
diatas bila ditilik dengan pandangan dalam hokum perlindungan maka akan
menyangkutkan beberapa pasal yang secara tidak langsung mencerminkan posisi
konsumen dan produsen barang serta hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
produsen.
Berikut adalah pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang berhubungan dengan kasus diatas serta jalan penyelesaian:
Berikut adalah pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang berhubungan dengan kasus diatas serta jalan penyelesaian:
- Pasal 2 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- Pasal 3 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- Pasal 4 (c) UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- Pasal 7 ( b dan d )UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Perlu
ditilik dalam kasus diatas adalah adanya perbedaan standar mutu yang digunakan
produsen indomie dengan pemerintahan Taiwan yang masing-masing berbeda
ketentuan batas aman dan tidak aman suatu zat digunakan dalam pengawet,dalm hal
ini Indonesia memakai standart BPOM dan CODEX Alimentarius Commission (CAC)
yang diakui secara internasional.
Namun
hal itu menjadi polemic karena Taiwan menggunakan standar yang berbeda yang
melarang zat mengandung Methyl P-Hydroxybenzoate yang dilarang di Taiwan. Hal
ini yang dijadikan pokok masalah penarikan Indomie. Oleh karena itu akan dilakukan
penyelidikan dan investigasi yang lebih lanjut.
Untuk
menyikapi hal tersebut PT Indofood Sukses Makmur mencantumkan segala bahan dan
juga campuran yang dugunakan dalam bumbu produk indomie tersebut sehingga
masyarakat atau konsumen di Taiwan tidak rancu dengan berita yang dimuat di
beberapa pers di Taiwan.
Berdasarkan
rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan,
produk mie instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari
Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan
Indomie tidak berbahaya.
Direktur
Indofood Franciscus Welirang bahkan menegaskan, isu negatif yang menimpa
Indomie menunjukkan produk tersebut dipandang baik oleh masyarakat
internasional, sehingga sangat potensial untuk ekspor. Menurutnya, dari kasus
ini terlihat bahwa secara tidak langsung konsumen di Taiwan lebih memilih
Indomie ketimbang produk mie instan lain. Ini bagus sekali. Berarti kan
(Indomie) laku sekali di Taiwan, hingga banyak importir yang distribusi.
2.
RIBUAN PANGAN IMPOR YANG DIJUAL TERNYATA ILEGAL
Petugas
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) meletakkan barang bukti obat dan makanan
ilegal ke dalam tong saat akan dimusnahkan di halaman kantor BPOM, Jakarta
(26/5). Tempo/Dian Triyuli Handoko
TEMPO.CO,
Jakarta - Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) menyita pangan impor ilegal atau tanpa izin edar sebanyak 7.762
kemasan. Makanan itu sebagian dijual secara online. Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Roy Sparringa mengatakan barang-barang ilegal itu ditemukan di
gudang yang beralamat di Kompleks Pergudangan Elang Laut Blok I, Pantai Indah
Kapuk, Jakarta Utara. "Kami sita kemarin malam pukul 23.00," ujar Roy
saat ditemui di kantornya, Kamis, 18 Juni 2015.
Makanan-makanan
tersebut, kata Roy, merupakan produk pangan olahan untuk bayi berupa
biskuit,cereal, dan camilan dengan merek Gerber asal Amerika. BPOM juga
menemukan 96 kemasan kosmetik ilegal yang terdiri atas sampo dan sabun bayi
asal Cina dengan nilai lebih dari Rp. 500 juta. “Kedua produk tersebut dijual
secara online”.
Ihwal
palsu atau tidaknya produk-produk tersebut, menurut Roy, BPOM masih melakukan
penelitian. Temuan tersebut menjadi persoalan yang mesti disikapi dengan serius
karena telah melanggar aturan yang berlaku. “Tetap saja berisiko untuk
dikonsumsi. Apalagi bayi ini merupakan kelompok yang rentan”.
Roy
menambahkan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan
Informatika terkait dengan temuan ini. Sebab, banyak produk impor ilegal yang
dijual secara online.
Roy
mengimbau masyarakat agar selalu teliti dan waspada dalam membeli produk
online. Konsumen mesti teliti dalam melihat kemasan, izin edar, dan
kedaluwarsa. "Selama bulan Ramadan ini akan sangat banyak muncul
produk-produk yang tidak berizin dan berbahaya," katanya.
Dari
hasil pengawasan pangan dan kosmetik yang dilakukan sejak 25 Mei hingga 18 Juni
2015, BPOM telah menemukan 36.207 kemasan pangan tidak memenuhi ketentuan, yang
terdiri atas pangan ilegal 18.701 kemasan, 15.707 kemasan pangan kedaluwarsa,
dan 1.799 kemasan pangan rusak. "Dengan nilai keekonomian lebih dari Rp
1,5 miliar," tutur Roy. Selain itu, ditemukan 12.770 kosmetik ilegal yang
mengandung bahan berbahaya dengan nilai keekonomian lebih dari Rp 257 juta.
Analisis
:
Dapat kita lihat dalam kasus ini terjadi dimana
penjual makanan olahan untuk bayi, sampo dan sabun bayi yang diedarkan secara
online maupun langsung kepada konsumen tidak memiliki izin jual. Produk makanan
olahan bayi ini berasal dari Amerika dan dijual luas di indonesia. Barang
tersebut disimpan oleh penjual di Kompleks Pergudangan Elang Laut Blok I,
Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Walaupun belum terbukti barang tersebut
mengandung bahan berbahaya tetap akan diambil tindakan oleh kepolisian
setempat. Dilihat dalam kasus tersebut BPOM menemukan kemasan pangan
kadaluarsa, rusak dan tidak memiliki izin. Dan kita harus ketahui bahwa hak
konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang atau jasa. Tetapi di dalam indonesia pengawan akan makanan,
barang-barang, ataupun jasa belum mencukupi atau untuk memberantas
barang-barang berbahaya tersebut. Seharusnya kita sebagai rakyat indonesia
membantu memberantas barang-barang ilegal tersebut dengan cara melaporkan
kepada pihak kepolisian pada saat melihat hal yang mencurigakan yang terjadi
disekitar lingkungan kita.
Dari kasus diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
banyak pelanggaran yang dikenakan oleh penjual tersebut antara lain :
·
Pasal 8 ayat 1 (g) menyatakan :
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/
pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu
·
Pasal 8 ayat 2 menyatakan : Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
·
Pasal 8 ayat 4 menyatakan : Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Para penjual atau supplier akan mendapatkan sanksi sesuai
dengan pelanggaran dalam pasal diatas yaitu:
Pasal 62
1.
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua
milyar rupiah).
2.
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d
dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3.
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap
atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.
Sumber :